Mendengar namanya saja sudah melambangkan sosok yang sangat memukau mata, sulit mencari yang menyamai. Kemolekan parasnya bersanding dengan gugusan bintang Orion yang indah hingga digelarlah ia Tanra Tellue di negeri Batara.
Matahari baru saja terbit dengan cerahnya, sudah bangun Sawerigading sang Raja Muda remaja tanggung gagah nan perkasa bernama kecil La Maddukelleng hiasan istana yang dipuji di Luwu, putra mahkota yang dimuliakan di Watamparek. Sri Baginda Datu Patotoe sang penguasa alam semesta memerintahkan kepada Sangiyampajung suruhan kepercayaannya agar mengantar sang raja muda yang dinaungi payung emas manurung di Aleluwu itu mengunjungi istana Sao Terru kediaman Senrima Wero Tanra Tellue.
Berangkatlah ia menemui Sawerigading yang sedang main gendang bersama sepupu-sepupunya. Betapa senang hatinya mendengar ajakan Sangiyampajung. Mereka pun berangkat mengunjungi berbagai tempat, melihat aneka macam balairung Sri Baginda Patotoe. Menyaksikan sungai indah berminyak wangi, laut berair kasturi tempat ikan-ikan emas berenang, juga melihat wangkang dan layar emas yang dikembangkan para anak dewa.
Dalam perjalanan pulang, mereka singgah di istana Sao Terru tempat tinggal Senrima Wero. Sawerigading bersepupu mampir beristirahat di balairung sementara Sangiyampajung naik ke istana menyampaikan semua pesan Sri Baginda Patotoe dan Datu Palinge kepada Senrima Wero, ia pun mulai menabuh gendang kemudian menari tarian Dewa.
Dengan rasa penasaran La Maddukelleng menginjak satu per satu anak tangga istana Sao Terru, lalu duduk sembari melihat gadis-gadis anak dewa berparas cantik menari tarian dewa, tubuhnya meliuk-liuk mengikuti tetabuhan gendang. Salah seorang dari mereka menjadi pusat perhatian Sawerigading yang masih remaja. Sosok dara berparas jelita, belum pernah ia temukan yang setara dengan keindahan lekuk tubuh dan parasnya. Dialah Senrima Wero, pemilik istana Sao Terru yang bergelar Tanra Tellue.
Dari ujung-ujung rambut panjang Senrima Wero terurai wangi laksana memberi kabar sepucuk rindu hingga Sawerigading tenggelam dalam kegelisahan. Di mana keperkasaannya seakan-akan melemah di hadapan cinta, dihempas keinginan untuk membaca jawaban atas desir darahnya. Usia remaja menghadirkan rasa yang menggebu.
“Silakan menyirih sirih racikan orang Botinglangi, Kaka Pongratu!”
Bergegas Sawerigading menerima dan mengunyah sirih pemberian Senrima Wero. Hatinya mulai bimbang, ada keinginan untuk tinggal di langit bersanding dengan gadis anak dewa yang sangat cantik pemilik istana Sao Terru. Sawerigading duduk merenung, tumbuh rasa kasih dalam hatinya. Sementara Senrima Wero kembali menari bersama teman-temannya. Sawerigading pun beranjak lalu bermain gendang dan menari bersama hingga bersahutan bunyi gendangnya. Setelah terbenam matahari, barulah ia pulang bersama Sangiyampajung ke istana Sao Kuta yang agung.
Di sebuah ketika, usai belajar tarian dewa dari Senrima Wero di istana Sao Terru. Sawerigading tak kuasa menahan gejolak rasa di hatinya, diberanikannya diri menyapa.
“Wahai Anri Marupek, berkenanlah gerangan wahai hiasan istana Sao Terru si Mutiara Langit. Ikutlah bersamaku turun ke Bumi, di Luwu kita berjodohan dan tinggal bersama di istana Sao Denra,” bujuk Sawerigading penuh rayu.
“Wahai Kaka Pongratu, andai engkau sungguh menginginkan aku, tinggallah engkau di langit menjadi teman hidupku karena aku tak mau turun ke Bumi,” jawab Senrima Wero Tanra Tellue.
“Bagaimana aku akan tinggal di langit? Tak mau orang tuaku berpisah,” sambung La Maddukelleng dengan suara lirih sembari mengembuskan napas dengan kencang. Tergambar kekecewaan pada raut wajahnya.
Hari berganti malam, hampir tiap hari Sawerigading bertandang menemui Senrima Wero di istananya. Saat mereka berdekatan, Sawerigading kerap duduk termenung berusaha mencari cara untuk membujuk gadis pujaannya agar kenan ikut turun ke bumi. Mereka diam, berbincang dengan tatapan mata. Kemudian Senrima Wero menyuguhkan sirih racikannya kepada Sawerigading.
Dengan senang hati Sawerigading mengunyah sirih itu dan berkata, “Terasa madu campuran kapurnya, tebu kuning gulungan sirih yang engkau suguhkan. Alangkah enak rasanya hingga menelusuri tulang-tulangku menyerap dalam dagingku. Berkenanlah engkau menjadi ratu di Luwu. Aku tak menjadikanmu istri yang dimadu, tak ke mana hasil sabungan tajiku, sungguh jadilah engkau ratu tunggal di istanaku!”
Menjawab pula Senrima Wero, “Maafkan aku, Kaka Pongratu. Tak kuasa aku kabulkan keinginanmu, tak mampu kuiyakan kehendakmu, aku tak mau turun ke Alelino! Jika engkau yang tinggal di langit, jadilah kita berjodohan.”
Dengan tersenyum ia kembali berucap, “Andaikata memang kita tak berjodoh sebab engkau tak mau ikut bersamaku, tolong potongkan kuku palsu di jarimu, yang akan kubawa pulang sebagai pengganti dirimu!”
Tibalah masa Sawerigading harus pulang ke Luwu sesuai janji dengan kedua orang tuanya. Sawerigading menggenggam jemari Senrima Wero Tanra Tellue dan mohon diri.
“Duhai Anri Marupek, purnama di hatiku. Kini telah tiba masaku untuk pulang. Walau aku tahu demikian berat meninggalkanmu, seberat rindu yang akan kubawa nanti.” Tampak kesedihan di wajah Senrima Wero.
Lirih Senrima Wero menjawab, “Oh Kaka Pongratu, pada sunyi kuletakkan cinta dengan belai. Sekalipun patah tubuhku lunglai, sekalipun matiku tanpa pelita. Mencari-cari cahaya dari dada para dewa. Masihkah akan terang kulihat wajahmu?”
“Wahai Anri Marupek, terbitnya matahari akan tenggelam jua saat petang tiba, beranjaknya bulan akan berlalu jua ketika pagi tiba. Tinggallah engkau di istanamu dan relakan aku pulang ke negeriku. Simpan aku di hatimu, aku tempatkan engkau dalam kenangan. Selamat berpisah!”
“Relakanlah duhai Kaka Pongratu, kita saling mengenang dalam cinta yang tak sejodoh. Selamat jalan!” ucap Senrima Wero dengan mata mulai sembap.
Masing-masing dada menjadi runtuh, air mata menguap bersama harapan yang hilang. Keduanya sama gulana. Hanya mampu menyaksikan napas yang berembus dari kitab penciptaan, kemudian terlelap dalam kepiluan yang menawan. Tinggallah Senrima Wero duduk bertopang dagu di atas peterana emas mengenang kepergian Sawerigading.
Setelah berpamitan dengan kakek dan neneknya di istana Sao Kuta Agung, Sawerigading berangkat meninggalkan Botinglangi. Dalam perjalanan pulang, Sawerigading melepaskan pontoh motif bintang yang meliliti pangkal lengannya lalu menanam pontoh itu sebagai penanda cinta.
“Kutanam dan tumbuhlah subur bergalih di negeri Batara bernama Pohon Dewa yang keramat. Tumbuhlah berbunga pengantin bunga bersanding, jika bungamu terbuka akan serupa manusia duduk bersanding. Seorang wanita yang sangat cantik dengan seorang laki-laki yang teramat gagah. Duduk berdampingan menggantikanku tinggal di langit. Kiranya bagai diriku yang pengantin di atas pelaminan bersama Senrima Wero Tanra Tellue.”
Sawerigading meninggalkan kerajaan langit, pulang membawa kenangan dan harapan yang patah.