Opini  

Perlawanan Terhadap Kemiskinan, Oleh: Nurhan Tabau

Nurhan Tabau, Ketua Umum IPLR. Foto: Kapitanews.id

“Kemiskinan akan terus menjadi hantu bagi
bencana kelaparan dan kekurangan yang setiap
saat bisa masuk melalui gerbang-gerbang desa”

Memperingati Hari Perlawanan Rakyat Luwu yang ke-77 tahun kali ini penting dimaknai pada konteks yang berbeda sebagai wujud aktualisasi juga eksperesi dalam meletekkan sejarah pada ruang dan waktu yang berbeda. Heroisme
perlawanan rakyat Luwu yang didorong oleh keinginan terbebas dari kolonialisme mesti dibawa ke dalam ruang terkini dan dalam spirit kemajuan.

Perjalanan 77 tahun bukanlah usia sejarah perlawanan yang masih muda, jika analoginya umur rata-rata manusia, maka sejarah perlawanan ini sudah berada pada siklus usia lanjut, atau tahap akhir hidup manusia, dimana fase ini
semestinya diisi dengan kebijaksanaan dalam memahami jalan atau rute panjang pembangunan masyarakatnya.

Perang Kopi
James C. Scott dalam karya penelitiannya yang hebat berjudul “Moral Ekonomi Petani” menemukan satu kalimat kunci kapan pemberontakan dan perlawanan petani bisa terjadi? Hasil penelusurannya secara sosial di Vietnam, Burma, dan Pulau Jawa menunjukkan bahwa perlawanan dan pemberontakan petani terjadi pada saat kebutuhan subsistensinya terganggu oleh kekuatan lain yang ingin memonopoli. Kebutuhan untuk bertahan hidup menjadi faktor pendorong utama bagi petani untuk melakukan perlawanan. Kembali pada peristiwa perlawanan rakyat Luwu yang terjadi pada tahun 1946, peristiwa ini bukanlah hal yang dipicu oleh peristiwa yang singkat, perlawanan itu telah ada bahkan 100 tahun sebelumnya, saat kolonialisme Eropa yang diwakili oleh Belanda dalam hal ini VOC yang memulai penguasaan wilayah dengan pengembangan pertanian kopi untuk kebutuhan ekonomi Eropa di wilayah kekuasaan kerajaan Luwu, khususnya di wilayah Latijomong, Toraja, sampai Seko. Fakta sejarah menunjukkan pada tahun 1905 terjadi perlawanan petani Luwu di jalur perdagangan kopi yang melibatkan bahkan masyarakat sekitar wilayah kerajaan Luwu seperti para pedagang bugis. Peristiwa kedua adalah Perang Topoka pada kisaran tahun 1914, perang perlawanan rakyat terus menjadi laten hingga memuncak pada tahun 1946. Di balik semua perlawanan ini dari tinjauan ekonomi politik dan sosiologis adalah perang dan perlawanan akan kemerdekaan terhadap subsistensi para petani atas kolonisasi sumberdaya pertanian khususnya tanaman kopi saat itu.

Melawan Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan diakhir tahun 2022 merilis angka-angka tingkat kemiskinan kabupaten atau Kota yang berada dalam wilayah administrasinya. Kota Makassar dan Kabupaten Sidrap menjadi wilayah dengan angka kemiskinan terendah, rata-rata 4% sampai 5% dari jumlah penduduknya. Lantas bagaimana dengan wilayah-wilayah di Luwu Raya? Kabupaten Luwu rata-rata tingkat masyarakat miskin tiga tahun terakhir
diangka 12%, sedikit dibawah angka kemiskinan di Luwu Utara yang mencapai 13%, hanya lebih rendah dari angka kemiskinan tertinggi se-sulawesi selatan, yakni Kabupaten Jeneponto, yang mencapai tingkat kemiskinan 14%. Sementara Kota Palopo dan kabupaten Luwu Timur relatif lebih rendah pada kisaran 6% sampai 7% penduduk miskin dari total jumlah penduduknya. Kenyataan dari angka-angka ini mengajak kita untuk kembali melihat sejauh mana pemerintah dan seluruh pihak melakukan penetrasi program-program pengentasan kemiskinan. Data BPS secara nasional juga menunjukan bahwa dari 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia, 17,28 juta diantaranya adalah penduduk perdesaan yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Kondisi ini tak pernah bergerak dari zaman kolonial hingga kini. Petani dan sektor pertanian masih dianggap pekerjaan yang berkubang dengan jerat kemiskinan. Nilai tukar petani yang rendah dan terus menurun. Apa yang terjadi sebenarnya sudah cukup menggambarkan kondisi kehidupan petani secara umum yang terjadi di banyak wilayah. Hal inilah yang semestinya menjadi perhatian utama bagi kita semua, bukan hanya oleh pemerintah, tapi seluruh pihak, multipihak, khususnya generasi muda saat ini yang dianggap memiliki daya adaptasi yang lebih baik terhadap perubahan-perubahan sistem ekonomi yang sedang terjadi begitu cepat.

Perlawanan Petani Muda
Revolusi, transformasi dan evolusi terjadi ketika teknologi-teknologi mutakhir dan cara-cara baru dalam melihat dunia memicu perubahan mendalam pada sistem ekonomi dan struktur sosial. Pergeseran pertama yang mendalam pada cara hidup manusia adalah ketika fase berburu mencari makan menjadi fase bercocok tanam (bertani). Revolusi agraris menggabungkan tenaga hewan dan tenaga manusia untuk tujuan produksi, transportasi dan komunikasi. Semua proses ini, sedikit demi sedikit membuat produksi makanan semakin berkembang, lalu memacu pertumbuhan populasi dan pemukiman manusia, sehingga lahirlah urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota. Revolusi terus terjadi dibidang pertanian yang ditandai dengan peralihan pertanian yang mengandalkan otot menjadi tenaga mekanik yang terus berkembang hingga sekarang. Dengan terjadinya revolusi industri keempat, di mana kekuatan kognitif (ilmu pengetahuan) yang terus meningkat mampu melipat gandakan produksi pertanian. Ruang-ruang inilah yang luput dari perhatian pemuda-pemuda saat ini. Sebuah kekuatan ekonomi yang seharusnya mampu menciptakan kemakmuran bagi keluarga, wilayah dan bangsa.

Transformasi belum usai, akan terus berjalan bukan hanya masuk pada tingkatan industri 4.0, tapi akan terus bergerak masuk pada industri 5.0 dan seterusnya, yang akan terus mempengaruhi ekonomi global. Pemuda mesti
memikirkan ulang sistem ekonomi lokal, sistem sosial dan politik lokal, dalam kerangka institusionalisasi (pelembagaan) kepentingan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnya rakyat di wilayah Luwu Raya yang pastinya akan terus bertransformasi dalam rute transisi sistem ekonomi, sosial dan politik yang semakin membaik. Selamat merenungi kembali makna perlawanan rakyat Luwu.