LUWU UTARA, Kapitanews.id — Sabtu, 08 Oktober 2022, ternyata di Desa Hono sangat dingin di waktu pagi, kami menggigil meski matahari sudah cerah dan menunjukkan pukul 08.00 wita, pagi hari masyarakat khususnya di Desa Hono baik itu laki-laki maupun perempuan melakukan aktivitas di kebun dan di sawah.
Bagi kaum perempuan mereka ke kebun, untuk memanen buah kakao atau melakukan perawatan di kebun masing-masing, sementara laki-laki melakukan perawatan padi dan pembajakan ladang sawah karena sekarang ini sudah memasuki musim tanam.
Dari teras rumah bapak Kepala Desa Hono, kami menikmati kopi buatan Bu De’, kopi hangat dan sebatang rokok ditambah dinginnya suasana di Desa Hono jadikan sensasi menyeruput Kopi Seko lebih nikmat. Sruuuuutttttttttt.
Sembari menikmati kopi, tepat di depan rumah Kepala Desa, ada lapangan sepak bola yang luasnya kira-kira sekitar 20×20 meter persegi, dan dikelilingi rumah warga yang didominasi rumah panggung, sepertinya ada beberapa warga yang sudah panen buah coklat.
Masyarakat menjemur buah coklatnya di pinggir lapangan untuk dikeringkan, jika sudah dikeringkan dalam waktu 3—4 hari selanjutnya akan dibawa dengan ojek ke Masamba untuk dijual.
“Buah kakao di Desa Hono biasanya dijual Rp.25.000 hingga Rp. 27.000,” kata Iqbal warga Desa Hono.
Begitulah harga kakao dari dulu hingga sekarang memang tak pernah stabil, saya juga pernah bekerja salah satu perusahaan coklat yang ada di Kota Palopo dan di tempatkan di Luwu Utara.
Buah kakao yang ada di Seko memang dikenal berkualitas oleh para pedagang maupun tengkulak, sayangnya karena akses yang jauh sehingga harga bagi para petani menjadi rendah, meski harga di tempat saya pada waktu itu sudah mencapai harga Rp. 32.000 sampai Rp. 34.000, tapi di Seko hanya berada pada harga di bawah Rp. 30.000an. itu dikarenakan mereka menjual di pedagang atau pengumpul yang selanjutnya mereka jual lagi ke perusahaan dengan harga lebih mahal.
Bahkan kerap kali, saya temui pedagang yang hanya membeli beberapa karung saja kakao yang dari Seko, karena memiliki bijinya yang besar dan bersih, kakao yang ada di Seko kadang dijadikan bahan untuk menetralkan kakao yang rusak dengan dicampur hingga merata.
Meski begitu, masyarakat Seko tetap konsisten budidaya kakao hingga saat ini, musim panen raya biasanya pada bulan lima (5), enam (6), dan tujuh (7). Sekali panen masyarakat bisa menghasilkan ratusan kilo per hektar bahkan ada yang mencapai satu (1) ton per hektar dalam setahun sebanyak emapat (4) kali panen.